Sebelum Kemerdekaan

Beragam suku bangsa dahulu menghuni wilayah Indonesia . Ujung barat yang sekarang merupakan wilayah Provinsi Aceh setidaknya terdapat 13 suku. Sedangkan ujung barat Indonesia, yaitu pulau Papua terdiri dari 255 suku. Dan masih banyak lagi suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia kala itu.

Van Vollenhoven membagi suku-suku bangsa Indonesia menjadi 19 Lingkungan Hukum Adat. Sedangkan Soepomo membedakan mereka (masyarakat hukum adat) dalam 2 golongan menurut dasar susunannya, yaitu genealogis dan teritorial.

Masyarakat hukum adat secara genealogis tersusun berdasarkan asas keturunan. Berdasarkan garis keturunan ini, mereka terdiri dari 3 jenis pertalian keturunan, yaitu matrilineal (menurut garis keturunan ibu), patrilineal (menurut garis keturunan bapak), dan parental (menurut garis keturunan orang tua secara bersama-sama).
Masyarakat hukum adat secara teritorial tersusun berdasarkan kesamaan lingkungan daerah. Ada 3 jenis masyarakat hukum adat yang struktut masyarakatnya bersifat teritorial, yaitu desa, persekutuan desa, dan perserikatan desa.
Ada pula masyarakat hukum adat secara genealogis teritorial, salah satunya adalah suku bangsa Minangkabau. Demikianlah bangsa-bangsa yang dahulu menempati seluruh wilayah Indonesia ini dengan susunan ikatan genealogis dan teritorial.
Salah satu hal terpenting bagi masyakat hukum adat Indonesia adalah ketentuan mengenai tanah atau lebih luas lagi wilayah. Mereka mempunyai ikatan tersendiri dengan wilayahnya, baik itu tanah, air dan kekayaan alam yang ada pada tanah dan air itu. Wilayah demikianlah yang sesungguhnya kita sebut Agraria.
Sebelum kemerdekaan, orang mahfum mengenal Indonesia sebagai wilayah jajahan Belanda dan Jepang. Penjajahan Belanda adalah penjajahan yang paling membekas. Tidak kurang dari 3,5 abad mereka mengusai dan mengeksploitasi ruang-ruang agraria bangsa-bangsa Indonesia.

Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) adalah yang pertama mengeksploitasi ruang-ruang agraria Indonesia dan menerapkan hukum barat terhadap pengaturan, pemilikan dan penguasaan tanah. Mereka tidak memedulikan hak-hak tanah rakyat dan raja-raja Indonesia. VOC tidak mempersoalkan hukum adat sebagai hukum yang mempunyai corak dan sistem sendiri, bahkan mereka membiarkan bangsa Indonesia hidup menurut adat dan kabiasannya.
VOC memberikan pilihan antara menerapkan aturan menurut hukum tanah barat atau menyerahkan kepada penduduk golongan eropa dan bangsa timur untuk mengeksploitasinya. C. Chastelin merupakan tuan tanah pertama yang membeli tanah partikelir Serengseng dan Depok pada tahun 1705.
Pada tanggal 31 Desember 1799 VOC pecah dan mengakhiri kekuasaannya atas agraria Indonesia. VOC menyerahkan seluruh utang-utangnya kepada Bataafse Republiek yang kemudian menjadi penguasa agraria Indonesia yang baru sejak 1 Januari 1800. Selanjutnya, Bataafse Republiek berubah menjadi Kerajaan Belanda.

Pada tahun 1808-1811, Herman Willem Deandels menjadi Gubernur Jenderal Jawa. Deandels menulis bahwa rakyat tidak mengenal “eigendom” tanah. Sejak dahulu rakyat biasa mengerjakan tanah atas perintah bupati-bupati dan kepala-kepala lainnya, dan rakyat merasa lebih bahagia sebagai penanam dengan menerima upah yang layak daripada menjadi yang empunya atau yang menyewa tanah”. Propaganda ini memperkuat kedudukan Deandels ketika menjual tanah secara besar-besaran (pertikualire landrijen). Deandels menjual Wilayah Batavia, Semarang, dan Surabaya kepada swasta sebagai suatu cara memecahkan kesulitan keuangan pemerintah.

Tahun 1811 Pemerintahan Hindia-Belanda jatuh ke tangan Inggris, sehingga selanjutnya Inggris menjadi penguasa baru atas agraria Indonesia. Thomas Stamford Raffles saat itu menjadi Gubernur Jenderal. Raffles melakukan penyelidikan dan membuat suatu kesimpulan bahwa awalnya raja menjadi pemilik semua tanah, rakyat mendapat tanah secara pinjam dengan penggantian berupa bahan mentah. Rakyat hanya dapat menjadi pemilik tanah apabila dapat membuktikan bahwa ia adalah pemilik tanah tersebut. Raffles menjadikan hal ini sebagai dasar dalam mengadakan kebijakan pemungutan pajak bumi atau landrent (sewa tanah).
Pada tanggal 14 Juli 1817, Herman Warner Muntinghe yang merupakan Komisaris Jenderal, memberikan pemikirannya tentang penguasaan agraria Indonesia. Muntinghe lebih memilih konsep stelsel belasting, memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menguasai tenaga dan benda. Hal ini akan memberikan dampak yang lebih baik dalam pengerjaan tanah oleh rakyat dan akan memberikan dampak yang baik bagi pasar eropa, asal pemerintah dapat pembayaran yang layak. Intinya, stelsel belasting merupakan konsep bahwa rakyat menjadi dasar bagi adanya pemerintah, belasting yang layak mereka pungut dari rakyat merupakan sumber penghasilan dan kekayaan Belanda.
“Iura populi sunt summa iura“
Written by : Dhie Agraria Indonesia (D A I)