Reforma Agraria Berbasis Hukum Adat

Hukum mengantarkan manusia pada kebenaran[1]. Agar sampai pada kebenaran penetapan hukum harus menggunakan keadilan, sehingga segala sesuatu selalu diberikan kepada yang berhak menerimanya. Firman Allah di dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 58 :

“Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.”

Gagasan dalam penetapan hukum tidak lain adalah keadilan. Aristoteles menjelaskan dalam bukunya Politika,bahwa pembentukan hukum harus selalu dibimbing oleh rasa keadilan, yaitu rasa yang baik dan pantas bagi orang yang hidup bersama.[2] Gustav Radbruch menegaskan “est autem jus a justitia, sicut a matre sua ergo prius fuit justitia quam jus”.[3] John Rawls secara sistematis memberikan pengertian keadilan sebagai kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran.[4] Keadilan merupakan justice as fairness yang bersandarkan pada justice as truth[5].

Hukum yang berkeadilan bertugas menciptakan suatu kepastian hukum. Van Apeldoorn[6] memandang kepastian hukum sebagai suatu hal yang dapat ditentukan oleh hukum dalam hal-hal yang konkret. Kepastian hukum adalah tentang adanya jaminan bahwa hukum dijalankan, yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan putusan hukum dapat dilaksanakan. Lebih lanjut, kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.

Penegakan keadilan dan kepastian hukum secara bersamaan terkadang menimbulkan konflik hukum. Ketika kepastian hukum diutamakan, keadilan terlupakan dan sebaliknya. Peraturan perundang-undangan sebagai perwujudan dari kepastian hukum jika bertentangan dengan keadilan yang tidak dapat ditolerir, maka peraturan perundang-undangan itu dikatakan sebagai hukum yang cacat, dan karenanya harus tunduk pada keadilan. Gustav Radbruch dalam suatu artikel di tahun 1946, menulis :

“The conflict between justice and legal certainty may well be resolved in this way : The positive law, secured by legislation and power, takes precedence even when its content is unjust and fails to benefit the people, unless the conflict between statute and justice reaches such an intolerable degree that the statute, as ‘flawed law’, must yield to justice.”[7]

Keadilan dan kepastian hukum dipandang sebagai dua hal yang saling terikat dan tidak dapat dipisahkan sebagai suatu sistem hukum[8]. Keadilan merupakan dasar dalam penetapan hukum. Sedangkan kepastian hukum merupakan konsistensi dalam pelaksanaan hukum. Sehingga akan terbentuk suatu hukum yang dicita-citakan (ius constituendum[9]).

Sistem hukum yang penting dicita-citakan suatu negara adalah sistem hukum pertanahan[10]. Hal ini dikarenakan tanah merupakan unsur penting bagi eksistensi negara dan menjadi hal yang fundamental bagi negara-negara agraris[11], seperti Indonesia. Sepanjang sejarah, sejak manusia berburu di hutan atau mengumpulkan hasil hutan, kemudian bertani mengembara sampai kepada bercocok tanam secara menetap, penguasaan dan pemanfaatan tanah seringkali menimbulkan sengketa. Tanah-tanah yang subur semakin dikuasai oleh segolongan kecil pemilik-pemilik tanah yang biasanya memiliki kekuatan politik yang merampas tanah-tanah petani bagi pengembangan industrinya. Melalui sejarah yang panjang, sengketa-sengketa itu akhirnya menyadarkan manusia bahwa penguasaan tanah perlu diatur kembali.[12]


[1] Perdebatan mendasar yang sering menjadi bahan diskusi dalam sejarah kehidupan manusia adalah perdebatan seputar sumber dan asal usul pengetahuan dan kebenaran. Muhammad Baqir Shadr, 1994, Falsafatuna, Diterjemahkan oleh M. Nur Mufid Ali, Mizan, Bandung, Hlm. 25. Lebih lanjut. Inu K Syafii, 2005, Filsafat Kehidupan, Bumi Aksara, Jakarta, Hlm. 59. Manusia hidup di dunia ini pada hakekatnya mempunyai keinginan untuk mencari pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Pengetahuan menurut arti sempit sebuah keputusan yang benar dan pasti. Berbicara tentang kebenaran sesuatu, tidak terlepas dari pengertian dan fungsi dari sesuatu yang akan dicari kebenarannya itu. Lebih lanjut. Beni Harmoni Harefa, Kebenaran Hukum Perspektif Filsafat Hukum, 2016, Jurnal Komunikasi Hukum, Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja Volume 2, Nomor 1, Februari, Hlm. 15-16. Dikenal ada beberapa teori dalam menentukan kriteria kebenaran, yaitu teori korespondensi, teori koherensi dan teori pragmatis. Teori kebenaran korespondensi mengutamakan kepastian hukum (asas legalitas). Teori koherensi diimplementasikan dalam tataran ius constituendum (ide-ide hukum) yang kesesuaian dengan realitas perilaku masyarakat. Kebenaran hukum yang hendak dipenuhi dalam hal ini adalah aspek keadilan yang diutamakan. Teori kebenaran pragmatis, sesuatu dikatakan benar apabila mempunyai manfaat bagi kehidupan umat manusia. Apa yang dirasakan bermanfaat itulah hukum yang sebenarnya. Lebih lanjut. Peter Mahmud Marzuki, 2018, Pengantar Ilmu Hukum, Prenadamedia Group, Jakarta, Hlm. 9. Sebagai suatu ilmu, ilmu hukum masuk ke dalam bilangan ilmu yang bersifat preskriptif, artinya ilmu yang membawa atau sarat nilai. Ilmu hukum bersifat menganjurkan bukan hanya mengemukakan apa adanya. Oleh karena itu, ilmu hukum bukan termasuk ke dalam bilangan ilmu empiris. Kebenaran yang hendak diperoleh adalah kebenaran koherensi bukan kebenaran korespondensi.

[2] Aristoteles dalam Abdul Ghofur Anshori, 2006, Filsafat Hukum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, UGM Press, Yogyakarta, Hlm. 12.

[3] Terjemahannya : “Akan tetapi hukum berasal dari keadilan seperti lahir dari kandungan ibunya; oleh karena itu, keadilan telah ada sebelum adanya hukum.” Kurt Wilk dalam Peter Mahmud Marzuki, 2018, Pengantar Ilmu Hukum, Op.Cit. Hlm. 121.

[4] John Rawls, 2011, Teori Keadilan : Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Penerjemah Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, Hlm. 3.

[5] Ruang lingkup definisi keadilan yang diberikan oleh John Rawls tidak hanya pada justice as fairness, akan tetapi dilandaskan pada kebenaran (justice as truth).

[6] Van Apeldoorn dalam R. Tony Prayogo, 2016, Penerapan Asas Kepastian Hukum dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil dan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/pmk/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-Undang, Jurnal Legislasi Indonesia Vol 13 No 02-Juni 2016, hlm 193.

[7] Terjemahannya : “Pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum dapat diselesaikan dengan baik dengan cara ini : Hukum positif, dijamin dengan undang-undang dan kekuasaan, didahulukan bahkan ketika isinya tidak adil dan tidak menguntungkan rakyat, kecuali konflik antara undang-undang dan keadilan mencapai tingkat yang demikian. tingkat yang tidak dapat ditolerir bahwa undang-undang, sebagai ‘hukum yang cacat’, harus tunduk pada keadilan.” Gustav Radbruch, dalam Brian H. Brix, 2006, Robert Alexy, Radbruch’s Formula, and the Nature of Legal Theory, Rechtstheorie 37, University of Minnesota Law School, Berlin, Hlm. 140.

[8] Pada hakikatnya, sebuah sistem adalah sebuah unit yang beroperasi dengan batas-batas tertentu. Sistem bisa bersifat mekanis, organis, atau sosial. Lawrence M. Friedman, 2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Penerjemah M. Khozim, Nusa Media, Bandung, Hlm. 6. Lebih lanjut. Lawrence M. Friedman, Ibid, Hlm. 17. Suatu sistem hukum dalam operasional aktualnya merupakan sebuah organisme kompleks dimana struktur, substansi dan kultur berinteraksi.

[9] Ius constituendum mendahului ius constitutum, sebagaimana keadilan mendahului kepastian hukum. Ia merupakan pangkal dari pemikiran hukum, kemudian dituangkan ke dalam bentuk-betuk positif hukum (ius constitutum). Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka menjelaskan bahwa: a) Ius constitutum merupakan hukum yang dibentuk dan berlaku dalam suatu masyarakat negara pada suatu saat. Ius constitutum adalah hukum positif. b) Ius constituendum adalah hukum yang dicita-citakan dalam pergaulan hidup negara, tetapi belum dibentuk menjadi undang-undang atau ketentuan lain. Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka juga menjelaskan bahwa Ius Constituendum berubah menjadi ius constitutum dengan cara: a. Digantinya suatu undang-undang dengan undang-undang yang baru (undang-undang yang baru pada mulanya merupakan rancangan ius constituendum). b. Perubahan undang-undang yang ada dengan cara memasukkan unsur-unsur baru (unsur-unsur baru pada mulanya berupa ius constituendum). c. Penafsiran peraturan perundang-undangan. Penafsiran yang ada kini mungkin tidak sama degan penafsiran pada masa lampau. Penafsiran pada masa kini, dahulu merupakan ius constituendum. Zaki Ulya, Politik Hukum Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh : Re-Formulasi Legalitas KKR Aceh, PETITA, Vol. 2 No. 2, Hlm. 97. 

[10] Boedi Harsono menempatkan Hukum Tanah sebagai suatu sistem dan sebagai cabang hukum yang mandiri dan mempunyai tempat tersendiri dalam Tata Hukum Nasional. Boedi Harsono, 2013, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, Hlm. 17-18.

[11] Indonesia merupakan negara agraris, dimana sekitar 38,7 juta jiwa penduduknya mempunyai lapangan pekerjaan utama di bidang pertanian. Lihat https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/01/10/sekitar-38-juta-penduduk-indonesia-bekerja-di-sektor-pertanian-pada-agustus-2022

[12] Gunawan Wiradi, Reforma Agraria : Perjalanan Belum Berakhir, Sajogyo Institute, Akatiga, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), Bogor, 2009, Hlm. 1-2.